blog

Reading on The Train

Mei 05, 2019




“Ladies and gentlemen in a few minutes Ciremai will depart from Semarang Tawang to Bandung.”
Sore itu (tepatnya Jumat lalu) saya berada di kereta. Cuaca saat itu agak cerah-cerah sendu setelah hujan. Beberapa kali selama di perjalanan menuju stasiun, saya enggak bisa menarik napas dengan tenang. Jalanan begitu ramai. Penuh sesak akan mobil dan motor. Saya begitu panik, takut ketinggalan kereta haha. Harusnya jam  setengah empat sore saya sudah bisa berangkat, ini saya baru berangkat pukul empat lebih sepuluh menit. Memang keberangkatan kereta pukul setengah enam tapi saya lebih memilih untuk menunggu lebih awal deh ketimbang harus berlari-larian karena terlambat. 
Saat kereta sudah perlahan beranjak jalan, saya mengeluarkan buku dari tas. For the first time saya menantang diri saya untuk membaca buku selama perjalanan.  Selama ini saya enggak pernah bisa dan enggak kunjung berhasil juga membaca buku selama perjalanan terutama di kereta. Baru baca satu kalimat aja udah langsung ke-distract yang lain. Entah obrolan para penumpang, notifikasi handphone atau pemadangan yang disuguhkan begitu sayang untuk dilewatnya. 
Saya memilih buku Chicken Soup for the Soul terbitan Gramedia. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama saat membaca sinopsisnya. Saya rasa buku ini tepat sekali untuk menemani saya kemanapun dan dimanapun apalagi kalau lagi butuh asupan motivasi hehehe.  Walaupun beberapa orang bilang bahwa buku ini sangat jadul sekali, tapi bagi saya enggak apa-apa buat bacaan diusia saya yang pas banget 20an ini (pssttt, kalau kamu punya seri chicken soup apa saja, boleh dong saya dipinjami hihi bebas  versi inggris atau Indonesia).  Saya agak sedih dengan buku cetak versi bahasa Indonesia. Terutama yang saya punya sekarang yang berjudul “Waktunya Berkembang”(tentu saja judul yang diterjemahkan ke dalam Bahasa). Beberapa kali saya menemukan kalimat yang rancu dan susah dimengerti. Jadi saya pun harus mengulang membaca kalimat sebelumnya  agar lebih ngeh maksud kalimat selanjutnya.
Saya memulai membaca. Kalimat demi kalimat dapat saya cerna dengan mudah walaupun agak sedikit enggak nyaman dengan penumpang dibelakang saya yang sedang menelepon cukup kencang. Untungnya saya masih tetap memfokuskan diri pada buku yang saya pegang. Tepat lima menit membaca, fokus saya sudah hilang. Saya menutup buku sejenak dan melihat pemandangan diluar. Senja kala itu sungguh indah. Ketika saya ingin membaca kembali, saya gagal mencerna kalimat demi kalimat. Akhirnya saya simpan buku tersebut ke dalam tas.



Dan saya duduk rileks lalu menyesap kopi yang sudah mendingin. 

So, I did it! Walaupun enggak sesuai dengan ekspektasi saya (kayak di film-film, syahdu ditemani pemandangan senja yang indah sambil minum kopi), saya merasa bahwa lima menit sudah kemajuan yang baik buat diri saya. Apalagi kalau dijalankan lima menit tiap harinya. It's ok, right? Yang penting memulai dulu saja dan saya bisa mewujudkan tantangan yang susaaahhhh sekali saya jalani. Justru dari buku itulah saya mendapat inspirasi untuk selalu melakukan apapun  dimulai dari lima menit saja. Misal berangkat ke kampus atau kantor lima menit lebih cepat atau luangkan waktu lima menit sebelum mengerjakan sesuatu kayak bikin kopi atau sekedar duduk rileks, tarik napas. Memang hal kecil dan terlihat sepele tapi kalau konsisten dijalankan, saya yakin lambat laun hal itu akan merubah hidup lebih baik lagi. Setidaknya dengan satu kebiasaan baik, akan menghasilkan hasil yang baik pula. Lalu, tantangan apa yang sedang kamu jalani? 




blog

Myself Only

April 28, 2019

Jumat lalu saya ketagihan untuk mengunjungi kembali coffee shop yang menurut saya selain cozy, nyaman juga untuk kamu yang hanya sekedar duduk-duduk santai apalagi sambil baca buku atau check kerjaan. Saya sangat tertarik dengan tempat no smoking-nya. Lebih hening dan jadi lebih fokus karena memang dipisah dengan pintu kaca (enggak terganggu sama obrolan orang-orang atau ketawa mereka). Ada bantal duduk juga lho jadi enggak khawatir capek duduk lesehannya (apalagi saya yang paling engga bisa duduk di bawah). Kalau bukan karena meeting kerjaan, kayaknya saya enggak akan pernah menginjakkan kaki disini deh. Agak menyesal baru tau tempat ini seminggu yang lalu. 


Sebelum saya memutuskan untuk datang kedua kalinya ke Atlas&Co, saya menghabiskan waktu di kamar hingga larut hanya demi menonton channel youtube Lavendaire. Mulai dari habits, minimalism sampai journaling. Dari situlah saya langsung merasa ter-inspired dan excited untuk mulai merubah hidup saya yang terbilang membosankan di akhir-akhir minggu ini. Saya pun planning apa aja yang harus saya kerjakan esoknya. Malam itu juga saya mengabari teman-teman untuk meluangkan waktu journaling bareng Jumat sorenya. Namun dari mereka semua, satu pun enggak ada yang bisa datang. Agak sedih sebenarnya karena waktu itu saya benar-benar ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman. Kangen juga sudah lama sekali enggak kumpul full team lagi. Mungkin lain waktu yaaaa.



Sebelum sedih kian larut, akhirnya saya memutuskan untuk berkencan. Iya! Beneran kencan tapi enggak candle night dinner juga. Kencan di coffee shop itu syahdu greget-greget kekinian gimana gitu ya hahaha (apasi). Sudah lama banget saya enggak ngerasain kencan begini (mengurangi keimpulsifan ngopi di coffee shop, boros juga lama-lama kalo keseringan hiks. Saya sih pengennya punya mesin kopi sendiri di rumah, bikin kopi atau cokelat pagi-pagi atau malam pas hujan turun. Duh... halu aja dulu ye kan). Kalau udah excited gini tuh jadi kalap harus nyiapin apa, mulai dari baju apa yang pas, tas apa yang cocok sama outfitnya sampai lipstick apa nih yang kelihatan fresh di wajah hihi. Kamu, ciwi-ciwi ngerasain juga enggak sih? haha. Menurut saya, sore tuh waktu yang tepat banget buat ngelakuin apapun yang disuka bahkan bepergian. Saya rasa sore itu enggak begitu panas dan lebih santai aja karena semua pekerjaan juga udah dikerjakan pagi atau siang sebelumnya. 

Kencan malam itu ditemani laptop, buku dan alat tulis. Saya juga sudah charge full laptop supaya enggak ribet-ribet harus nge-charge dulu. Loh? kencan ditemani laptop dkk? Yep, hari itu saya memutuskan untuk berkencan dengan diri saya sendiri. Itulah kenapa saya betul-betul prepare pakaian hingga tas yang saya kenakan selain supaya lebih nyaman (kenyamanan itu penting!), itulah cara saya menghargai diri sendiri. Saya mencoba untuk enggak canggung (canggung campur senang bertubi-tubi). Tetap tersenyum kepada barista-barista disitu dan rileks. Di meja sudah ada es kopi yang akan menemani saya berlama-lama disini. Laptop sudah menyala dan buku sudah terbuka lebar yang pertanda sudah siap untuk saya coret-coret. Awalnya enggak tahan, berkali-kali mata saya menatap handphone. Sempat kalah juga ini pertahanan diri saya, enggak bisa kalau enggak difoto dulu haha. Setelah itu, saya benar-benar menaruh handphone saya ke tas dalam-dalam. Saya begitu larut menulis ini itu dibuku jurnal sambil sesekali menyeruput es kopi susu. Malam itu benar-benar serasa intim sekali. Saya bisa merasakan diri saya sebegitu nyaman dan bahagianya. Rasanya saya ingin terus berlama-lama begini. 


Dari buku yang saya baca, sebenarnya dibutuhkan keberanian besar untuk sendirian. Hanya dengan kasih sayang dan cinta kepada diri sendirilah yang mampu membangun keberanian untuk diri sendiri. Memang bener, bener banget. Seiring berjalannya waktu, saya sangaattttt menikmati kesendirian ini. Kadang sesekali melihat gerak-gerik orang-orang sekitar. Saya enggak pernah membayangkan ini sebelumnya. Malam itu berjalan dengan lancar dan kembali ke kosan dengan perasaan bangga bahwa malam spesial itu saya bisa menjadi diri saya apa adanya. Saya pun ingin mengulang spark joy ini di kemudian hari.





p.s: jurnal yang saya pakai dari @hellodewai dan coffee shop yang saya kunjungi berada di Jalan Jatiraya no. 51 Banyumanik, Semarang (@atlasnco).

blog

Tour Festival Kota Lama 2018

Oktober 19, 2018


Waahhhhhhhhhhhhhhhhhh sedihnya dan sadar kalau saya ini kurang update banget soal event-event di Semarang. Baru tahun ini saya tahu ada Festival Kota Lama. Ternyata sudah ada sejak tahun 2012. Ya ampun, berarti saya udah terlewat 2 tahun dong selama di Semarang huhuhu. Tertarik banget dateng karena ada penampilan-penampilan wayang dan tarian yang ternyata saya juga enggak bisa hadir karena harus bed rest. Jadi saya baru sempat datang saat hari terakhir Festival Kota Lama.

Pemandangan langit pagi itu

Ini nih penampakan mapsnya
Sebelumnya, saya mengikuti walking tour spesial festival kota lama pada jam delapan pagi. Pas banget momentnya karena saya memang sudah ingin sekali mengikuti rute ini (yang selalu tidak sempat). Saya sudah enggak sabar, apalagi katanya dapat maps spesial bagi para pengikut walking tour hari itu yang sekaligus menambah semangat saya haha. Saya bangun pagi-pagi sekali supaya enggak telat dan tepat waktu yang bertepatan titik kumpul di Taman Kota Lama Srigunting. Jadi agakk lumayan jauh dari kosan, sekitar tiga puluh menit. Untungnya pagi, jadi enggak begitu panas dan adem banget. Ditambah burung-burung bercuit-cuit ria kesana kemari menambah ke-aesthetic-an taman ini. Sayangnya kondisi kota lama yang sedang direhab, masker dan kacamata wajib tersedia di tas. Jalanan yang berpasir otomatis debu-debu halus pun bertebangan. Namun hal tersebut enggak menghalangi saya untuk ikut walking tour kali ini.

Mbak Ika, storry teller rute kala itu

Rute kota lama ini menghabiskan waktu dua jam saja (berbeda dengan rute sebelumnya yang saya ikuti, bisa baca disini). Walaupun dua jam, saya dibuat terpana akan sejarah yang enggak saya duga pun dengan yang lain. Tour kali ini pun di isi kurang lebih sepuluh orang. Ada yang berpasangan, teman karib bahkan anak dengan ibunya. Seperti biasa, tak kenal maka tak sayang kan? kami berkenalan satu sama lain, saling menyapa dan lempar senyuman. Kebetulan sekali story teller-nya mbak Ika dari Indramayu langsung berasa klop aja dan saya bisa mendengar kembali kata "mangga" hahaha.

Gereja Blenduk
Dimulai langsung di Taman Kota Lama Srigunting. Ditunjukkan gedung yang letaknya persis dibelakang taman ini, bercat putih dan terletak tangga melingkar di sebelah kanan yang pada awalnya ada dua tangga yang akhirnya tidak ada karena renovasi. Saya lupa pastinya gedung ini berfungsi apa dulunya, yang jelas gedungnya aktif digunakan pada masa Hindia-Belanda. Lalu kami semua bergeser sedikit ke samping kanan taman Srigunting, terdapat gereja Blenduk yang menjadi landmark kota Semarang. Disebut blenduk karena kubahnya berbentuk bulat. Gereja kristen tertua ini enggak sempat kami masuki karena masih tutup, sayang sekali. Setelah itu berlanjut menceritakan sejarah Kota Lama Srigunting ini yang membuat saya terkejut. Tempat seindah ini ternyata punya sisi kelam juga loh, selain itu taman ini juga sebelumnya menjadi tempat latihan para tentara Belanda. Lalu,Srigunting itu darimana sih? Ternyata Srigunting itu berasal dari nama burung. Iya, burung Srigunting. Anehnya, burung ini hanya hinggap dan hidup di wilayah ini saja enggak di tempat lain. keren kan.


Ini bagian dalam gedung Jiwasraya
Dilanjutkan menuju gedung Jiwasraya. Senang sekali saya dan teman-teman yang lain diberi kesempatan masuk untuk melihat lift pertama pada era Hindia-Belanda. Katanya, enggak sembarang orang loh bisa masuk kesini. Beruntungnya saya.


Lift pertama pada era Hindia-Belanda

Ini semacan katrol untuk menaik-turunkan lift

Pemandangan Taman Srigunting dari top floor Jiwasraya

Lorong gedung Jiwasraya, cucok buat foto. Instagrammable banget
hahaha
Nah, kalau dilihat gedung Jiwasraya ini menghadap langsung ke Taman Srigunting ya. Ada tujuannya loh, dulunya gedung ini juga dipakai untuk mengawasi para tentara berlatih dan mengawasi kegiatan lainnya pada zaman itu.

Bangunan restoran Ikan Bakar Cianjur tampak samping
Setelah puas berfoto dan melihat-lihat sekilas isi ruangannya, kami berlanjut ke sebelahnya yaitu gedung Ikan Bakar Cianjur. Ini juga termasuk gedung peninggalan Belanda loh yang sudah dicap sebagai gedung cagar budaya. Saya pernah waktu itu makan disini saat SMP, memang bangunannya minimalis sekali namun yang khas adalah tekelnya. Sayangnya lagi-lagi kami enggak bisa masuk karena masih tutup.

Salat satu bangunan yang tertera tulisan SAMARANG


Berlanjut lagi menuju gang kecil yang agak sepi namun katanya instagrammable banget. Akar-akaran. Jadi terdapat gedung rapuh yang sudah enggak terawat lagi, berdirilah pohon besar disana, akarnya pun besar-besar. Mungkin saya enggak begitu mengerti perihal fotografi, jadi buat saya ini biasa-biasa aja haha. Berjalan sedikit ke depan terdapat dua gendung yang sangat kontras sekali. Di gedung sebelah kiri terdapat tulisan SAMARANG. Konon, orang Belanda dulu susah menyebut SEMARANG, akhirnya pengucapannya pun berubah menjadi SAMARANG. Lalu untuk gedung sebelah yang sudah direnovasi itu, kabarnya akan di buat museum foto.


Terlihat logo pertama kota Semarang pada zaman Hindia-Belanda
(sebelah kiri)
 Agak sedikit jauh jalan selanjutnya menuju gang Lombok. Terdapat klenteng Tay Kak Sie dan merupakan kawasan pecinan terbesar di Jawa Tengah. Disini saya mendapat cerita sejarah sedikit nih tentang klenteng ini dan juga diberitahu perbedaan kedua patung yang berada tepat di pintu masuk serta penjelasan mengenai ketiga pintu di klenteng tersebut (pintu sebelah kanan, pintu tengah dan pintu sebelah kiri). Enggak hanya dijalan Mataran, di gang Lombok ini juga terdapat Lunpia enak loh, ketika saya lewati itu enggak hanya rame tapi benar-benar penuh. Kami lalu melanjutkan walking tour menuju masjid Pekojan yang sebelumnya saya singgahi juga di rute Multicultural. Disinilah kami beristirahat sejenak.

Salah satu toko oleh-oleh Lunpia enak di gang Lombok
Setelah beristirahat dan meneguk air minum masing-masing, kami juga di iringi menuju sebuah kampung bernama Bustaman yang masih di daerah Mataram juga yang terkenal dengan Gulai Bustaman. Nah gulai ini salah satu kuliner legendaris khas Semarang loh. Jadi sepanjang jalan kecil ini, saya mencium bau kambing, huh. Wah boleh nih kapan-kapan saya wisata kuliner kesini dan mencicipi rasa yang khas dan berbeda dari gulai lainnya. Di kampung ini juga terdapat rumah adat yang di isi sepuluh KK yang konon sudah turun-temurun loh. Rumahnya kecil dan saya enggak habis pikir gimana sempitnya yang diisi anggota keluarga sebanyak itu.

Hampir dipenghujung tour, kami berhenti sejenak di rumah makan Pringsewu letaknya persis dijalan Suari, masih di area Kota Lama. Tapi kami kesini bukan untuk makan melainkan menceritakan sedikit asal-usulnya. Rumah makan ini berkonsep heritage pada masa Oei Tiong Ham yang ternyata dulunya raja gula zaman dulu. Oei Tiong Ham ini juga konglomerat se-Asia Tenggara pada masanya dan salah satu sisa kejayaannya ya bangunan ini. Di penghujung walking tour, kami berhadapan langsung dengan Marba. Gedung ini terdiri dari dua lantai dan berdinding tebal sekitar 20 cm. Hal yang menarik saya dapat disini ialah Marba merupakan singkatan nama yang berarti Marba Badjunet, orang Yaman. Beliau juga termasuk saudara terkaya pada zamannya. Bangunan ini dulunya kantor usaha pelayaran dan juga toko modern pada masa itu.


Senangnya saya bisa menuntaskan walking tour special route ini. Enggak kalah berkesan dengan rute lainnya. Yang mau mendapatkan pengalaman lebih dan cerita mendetail, langsung aja daftarkan dirimu di rute Kota Lama ini ya. Awalnya, setelah tour ini, saya ingin menyempatkan waktu hingga malam untuk menikmati Festival Kota Lama. Namun sayangnya badan saya enggak bisa diajak kompromi dan memilih untuk beristirahat saja.


Pekan film di cafe Tekodeko
Keesokan harinya, saya meniatkan diri untuk datang di acara puncak Festival Kota Lama (walaupun saya enggak menonton bintang tamu utamanya karena terlalu malam). Tepat sekali saya datang di waktu sore. Enggak begitu ramai dan saya masih bisa menikmati dan melewati setiap standnya dengan aman (enggak berdesak-desakan). Hal pertama yang keluar di benak saya saat tiba yaitu kue Ganjel Rel. Memang tujuan saya kesini sebenarnya ingin mencicipi Ganjel Rel yang katanya kue legendaris Semarang ini. Ternyata standnya lumayan antre dan senang sekali akhirnya kesampean juga makan kue satu ini. Rasa rempah-rempahnya yang kuat dan padat, membuat saya ketagihan. Wah kala itu saya super excited. 


Kue Ganjel Rel
Harga satu kotak kecil yang sudah dipotong-potong sebesar lima ribu rupiah dan untuk ukuran besar (khusus dibawa pulang) satu kotaknya dihargai dua puluh ribu rupiah. Enggak hanya itu, sambil ditemani segelas es kopi gendhis yang membuat sore saya kali serasa lengkap. Enggak tanggung-tanggung, saya pun menikmati pekan film di café Tekodeko. Cukup bayar dua puluh ribu perorang, saya bisa menikmati film karya anak bangsa sepuasnya. Hari yang menyenangkan. Akhirnya sunset saya hari itu ditutup dengan nikmatnya kue Ganjel Rel dan es kopi susu beserta diputarnya film-film yang menarik. Jadi, tahun depan kamu harus datang ke Festival Kota Lama ya. 

blog

Jalan-Jajan di Jogja

September 11, 2018


Kali ini ke Jogja dalam rangka nemenin bumil ngidam. Iya, ngidam makanan khas Jogja. Mulai dari gudeg Yu Djum, nasi kuning, sampai kucingan. Enggak cuman itu, si bumil satu ini memang lagi cari perlengkapan bayi karena di tempat dia tinggal sekarang (read: Adelaide) harganya lebih 3x lipat mahal dibandingkan disini.

"Nih sel, foto pake aplikasi ini bagus"
dan beginilah hasilnyaaaaaaaaa

Sebelumnya, bumil a.k.a kak Lia sempat bermalam di rumah (read: Cirebon). Katanya ngidam mendoan sama kue bikinan mama hahaha aduuuuuuu ngidamnya sampe kudu nyebrang negara dulu. Siang itu, saya sempat menanyakan mama untuk datang ke kosan hari apa. Saya khawatir kalau datang disaat saya kuliah, kan makin lama lagi nunggunya dan malah makin memperlambat waktu ke Jogja. But, syukurlah mereka datang hari Sabtu siang. Sabtunya, saya kaget pas mama nelpon kalau beberapa menit lagi sampai. Saya yang tadinya enak-enak tiduran langsung bangkit dan bergegas mandi hahaha. Padahal firasat saya bakal nyampe sekitar jam duaan, tapi kok lebih cepat sejam ya (lagi-lagi pake perasaan kan ye). Setelah mandi, saya pun kembali menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan tentunya novel yang enggak akan saya lupain (walaupun belum tentu dibaca, yang penting nyesel enggak baca ketimbang nyesel enggak bawa kan? hahaha). Lah dalah saya bawa satu tas besar dan dua totebag ternyata. Tapi yang katanya beberapa menit berubah menjadi jam. Hampir sejam saya menunggu (masih sempat leyeh-leyeh lagi), akhirnya mereka datang membawa banyak bungkusan nasi padang. Ternyata dibawah sudah ada teman-teman papa (sekitar lima orang). Ya bisa dibilang reuni singkat lah. Jadinya tetep aja kan ketunda beberapa jam lagi berangkatnya -_- heuh. 

Setelah melewati drama bikin kopi dan cuci piring, tepat pukul empat sore kami melakukan perjalanan menuju Jogja. Senangnya selama perjalanan (terutama di tol), diperlihatkan suasanya sunset dan bukit-bukit yang indah banget. Pokoknya bener-bener damai deh, mobil pun enggak begitu banyak melintas saat itu. Serasa jalan milik pribadi haha. 


Enggak kerasa selama perjalanan nyetel playlist jadul, tiba-tiba udah sampe di Kopi Eva atau Coffee Eva House. Hayooo siapa yang belum tau Kopi Eva? Kata papa sih tempat makan dengan ayam gorengnya yang ter-ter-ter-enak pada zamannya (read: dulu zaman papa kecil). Papa juga bilang kalau setiap liburan ke Jogja, pasti mbah kung selalu mampir makan disini. Bangunannya pun masih sama, enggak ada perubahan katanya (ya mungkin ada sedikit renovasi yang enggak disadari). Kalau saya intip-intip pake mata batin, papa kayaknya bener-bener lagi nostalgia deh haha. Saya pun waktu itu, pertama kali menginjakkan kaki disini merasa senang sekali. Homey banget, sejuk dan makanannya of course enak-enak. Apalagi nasi gulai dan rawonnya bener-bener lezatos. Dagingnya empuk dan kuahnya passsssssssss. Enggak ada cacat sekalipun deh, sempurnaaaaa (terharu). Andalan disini yang selalu dihidangkan sebelum makanan utama datang yaitu Tahu rebus beserta sambal kecap, lemper dan mochi. Semuanya enak-enak, wah saya benar-benar kalap deh. Akhirnya saya dan mama memutuskan untuk setiap ke Jogja, pasti akan selalu mampir kesini. PASTI!


Ternyata praduga kami salah, yang harusnya sampai ditujuan jam tujuh atau delapan malam, ini sampai di hotel hampir jam sembilan malam. Macet dimana-mana dan jalanan pun ramai. Yaaaa mungkin karena tepat malam minggu juga kali ya, ya sudahlah kami pun buru-buru check-in hotel. Makan satu tahu aja udah kenyang, saya pun sampai enggak terpikirkan untuk makan malam lagi. Tapiiii ternyata mereka bertiga belum makan (alias makan nasi. Disebut belum makan kalau belum sama sekali makan nasi. Indonesian people), ya sudah mau enggak mau saya ikut juga hahaha. Sudah terlalu lelah keluar jauh lagi, kami memutuskan untuk makan di tempat makan dekat hotel yaitu kebetulan kami sempat melewati dan balik lagi ke rumah makan Tojoyo. Rumah makan ini terletak di jalan Urip Sumoharjo tepat di depan Empire XXI. Wah pokoknya recommended banget deh, ayam kampungnya mantap jos gandos ditambah lalapan dan sambalnya plus jeruk nipis, dudududu saya yang tadinya engga mau makan (alias diet oh diet) jadi tergiur juga deh walaupun tanpa nasi hehehe. Ini benar-benar kebetulan sekali loh, enggak berdasarkan hasil pencerahan si Google.

Pagi-pagi sekali saya sudah bangun. Sadar bahwa hari ini akan menjadi hari yang sangaaattt panjang. Padahal jam segini biasanya masih melungker dikasur sambil usel-uselan sama selimut haha.Jogja dingin banget pagi itu tapi niat untuk nemenin bumil enggak surut dong haha. Kapan lagi saya bisa menjelajah banyaaaakkkk tempat di Jogja.


Setelah yakin tidak ada lagi barang berharga yang tertinggal, kami pun berangkat menuju Malioboro. Pagi ini si bumil ngidam sarapan pecel. Katanya pecelnya harus ada kembang turinya dan dia yakin sekali kalau pecel di Jogja itu pasti ada kembang turinya. Jeng-jeng-jeng dengan wajah sumringah, kak Lia pun duduk dan menyantap pecelnya. Mungkin karena saya doyan makan juga ya, jadi yaaaa enak-enak aja tuh hahaha. Abis itu, kami berburu dan belanja di pasar Beringharjo. Entah sudah berapa jam, yang jelas saat keluar pasar, matahari bersinar terik tepat arah jarum jam dua belas.

Setelah puas berbelanja (bukan saya, sudah jelas si bumil haha) kami mampir ke tempat aksesoris bayi. Wah karena ini tujuan utama si bumil, kak Lia lumayan mborong banyak baju, perlak dan semua perlengkapan bayi. Sampai jamu bersalin pun enggak luput dari sasarannya haha (wajib ada katanya).


Memang yaaaa benar-benar berasa hariiiii yang panjang, perut saya pun sudah lapar. Kak Lia sih udah super duper lapar katanya hahaha. Kami pun menuju rumah makan Bakso Klenger yang setelah dicek and ricek bisa makan satu porsi bakso seberat satu kilogram. Waduuhhhhhh, itu perut muat enggak yaaa?.

@BaksoKlenger , Luv

Dan benar saja, porsi untuk empat orang ya satu kilogram itu. Setelah dibelah, dalamnya ada telor rebus, daging yang pokoke bikin klenger deh. Es campurnya juga mantaappppppp pas banget diminus saat cuaca Jogja yang puanas.


Sudah kenyang dan lelah, ngantuk pun melanda. Kami pun kembali ke hotel, sekedar mengistirahatkan dan membersihkan diri. But wait, kak Lia pengen massage also creambath juga. Ahhhhhh kebetulan saya sudah setahun lebih enggak creambath, inilah waktu yang tepat hahaha. Untungnya hotel dekat mall Galeria, jadi enggak perlu khawatir untuk keluar jauh-jauh. For the first time, saya merasakan chocolate cream chip ditambah espresso. Enaakkkkkkkk. Maap ya agak katrok, baru kali ini jajan di Starbucks haha. Malamnya setiba di hotel (setelah dilihat-lihat papa sepertinya udah zuper capek), kak Lia pun memutuskan Go-Food gudeg Yu Djum. Senangnya sekarang apa-apa kian mudah, jadi enggak perlu capek-capek lagi deh (honest review guys). 


Tapiiii, tidak berhenti disitu kawan. Tepat pukul sebelas malam, si bumil ngidam nasi kucingan. Saat itu juga kami cuuussssss menuju Gareng Petruk. Kali ini saya coba tahan sekuat tenaga supaya enggak tergiur icip-icip. Malah lagi-lagi saya tergiur dan tiba-tiba ngambil bihun goreng serta pudingnya tanpa pikir-pikir lagi. Ah yasudahlah.



Keesokan paginya kami check-out. Pukul delapan pagi. Enaknya sarapan nasi kuning. Iya, nasi kuning Banjar khas Banjarmasin. Adanya di Kindai spesialis masakan Banjar. Wah saya nostalgia deh. Terletak di jalan Jembatan Merah no.116D, selalu ramai. Pagi itu kami memesan nasi kuning Banjar dan soto Banjar. Rasanya maknyussss tenannnnn. Beneran rasanya itu khassssss banjar bangetttttttttttt, saya pikir rasanya enggak akan sesama itu, tapi ternyataaaa top markotop. Buat kamu yang ada di Jogja sekarang, jangan sampe nyesel enggak mampir kesini. Sudah puas, lanjut lagi ke perhentian terakhir, mall Ambarukmo. Disitu kami berburu mochi Sakura (awalnya sih gitu) tapi malah tergiur es krim buah disebelahnya, Paletaswey. Kak Lia memilih es krim buah sirsak, mama dengan es krim buah mangga dan saya menyesap es krim buah blueberry dan susu. Mantap banget perpaduan manisnya susu dan asamnya blueberry (yang  bikin saya berkali-kali mau terbang aja langsung ke sini heuh).


Waahhhh setelah saya recam perjalan ke Jogja kali ini, ternyata capeknya terbayar dengan makan zuper banyak. Memang deh, Jogja tempat yang cucok banget untuk kulineran. Semoga lain waktu bisa lebih explore Jogja lagiiiiii. Sampai jumpa lagi di next trip selanjutnya ya, Jogja. 

blog

Walking Tour with @bersukariawalk

Agustus 29, 2018



Siapa yang sudah ikutan walking tour? Wah seneng banget akhirnya bisa kesampean walking tour walaupun sebelumnya sempat batal. Kali ini saya benar-benar niat dan yaaaaa pas banget ada rute spesial di tanggal merah a.k.a pas Idul Adha. Enggak cuman itu, ada teman sd saya juga kebetulan sekali datang ke Semarang, ya sudah sekaligus saya ajak saja nyemarang. Namanya juga Multicultural, jadi saya dikelilingi tempat-tempat yang multi etnik dengan sejarahnya yang begitu kental. 

Pas banget kebagian Multicultural Route yang katanya rute terfavorit. Makanya saya penasaran, bagian yang mana sih yang menjadi favorit? Gedung-gedungnya? Sejarahnya? Suasananya? atau story tellernya? hihihi.
Syukurlah hari itu kondisi saya fit (harus fit dong, kan walking tour), saya buru-buru kontak teman saya (Hazmiyan) untuk prepare. Mungkin karena saya terlalu excited, jadinya saya terlalu cepat untuk menemui Iyan hahaha. Walking tour dimulai pukul setengah empat sore, meeting point berada di kantor pos pusat, dekat pasar Johar. Selama dijalan, saya mikir-mikir bakal di parkir dimana motor saya, kan serem kalo enggak ada pengamanan yang memadai. Untungnya, dibeberapa titik dekat kantor pos ada tukang parkirnya, jadi aman yaaa. Oh iya, karena ini walking tour (buat kamu yang baca dan pengen ikutan juga) jangan lupa bawa air mineral, jas hujan, payung dan makanan ringan alias jajan ya, karena walking tour berjalan sekitar dua jam, jadi butuh asupan juga selama dijalan dan jangan sampe dehidrasi. Syukurlah baik saya maupun Iyan sama-sama membawa air mineral (sempat gelisah enggak sempat bawa jas hujan atau payung). Cuaca sore itu agak terik, angin juga lumayan kencang namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat. Ah iya, story teller Multicultural ini bernama Mbak Dian. Easy going dan ceria. Walking tour dimulai dengan perkenalan, kira-kira sekitar 30-an orang yang hadir dan enggak cuman dari Semarang aja, ada yang dari Banjarmasin (uwooww acu terketjut) dan Banyuwangi (of course, teman saya Iyan) lalu sisanya kok mendadak lupa ya hehehe (maap).


 Awal rute dimulai dari Kantor Pos pusat, story teller menjelaskan kalau kantor pos ini tertua dan bangunan bersejarah di Semarang. Nah di depan kantor pos ini terdapat tugu titik nol KM Semarang (lebih jelasnya kalian ikut aja di rute ini ya hehehe). Disebelah kantor pos, terdapat gedung yang disebut gedung papak. Papak ini artinya persegi karena bangunannya banyak bentuk persegi daripada bentuk lainnya. Selanjutnya jalan menyebrang kearah Kampung Layur atau Kampung Melayu. Jalannya enggak begitu sempit, tapi rumah-rumahnya berpintu pendek. Menurut penuturan Mbak Dian as a story teller, rumah-rumah ini sering terkena rob, sehingga lambat laun tanahnya amblas (you know what I mean, right?) sehingga rumah-rumah pun tertelan tanah. Terlihat juga kali Semarang yang tadinya dilewati kapal-kapal menuju pelabuhan lama, sekarang sih sudah enggak bisa dilewati kapal. Dan sedihnya, kali ini keruh dan banyak sampah dimana-mana :( walaupun begitu, nilai sejarahnya masih melekat.




Nah, tibalah di Masjid Layur (yang dibangun pada tahun sekitar 1802). Masjid ini terkenal dengan menaranya, jadi enggak heran juga kalau disebut Masjid Menara. Sesampai disini, kegiatan kurban masih berjalan, sebagian bapak-bapak sedang bakar sate kambing hihi. Kami juga ditawari loh, katanya icip-icip lah sambil di snapgram hahaha. Masjid ini tadinya berlantai dua karena sering terkena rob, masjid ini pun ikut tenggelam. Lantai satu tidak ada yang tersisa sehingga hanya terlihat lantai dua yang masih digunakan hingga sekarang, didalamnya juga ada empat pilar, masih sangat terlihat ke-asliannya. 

Saya dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan, sesampai dipersimpangan, saya dihadapkan travo zaman dulu yang menjadi sumber listrik pada kala itu. Dan juga diperlihatkan view bangunan (disebrang jalan) antara bangunan belanda dan jawa yang berdampingan satu sama lain (salah satunya sebagai tempat foto, saya lupa namanya apa). Bangunan Belanda disitu terlihat tidak adanya ventilasi rumah. Menurut orang-orang Belanda, rumah sudah cukup dingin (kayaknya sih disamain dengan cuaca di negara asalnya) sehingga tidak perlu lagi adanya ventilasi. Namun sebaliknya, mereka belum benar-benar mengerti bahwa di Indonesia cuacanya sangatlah panas, akhirnya lambat laun setiap membangun rumah, mereka memberinya ventilasi. Disana ada juga pohon cantik menjulang tinggi memperlihatkan kesan kuno yang ditandai adanya rumah burung yang katanya sudah ada dari dulu. Setelah melihat-lihat, kami melewati jembatan Kali Semarang, waahhh indah sekali melihat senja disini. 



Setelah puas menikmati senja, saya kembali melanjutkan perjalanan ke arah bangunan Belanda yang sayangnya enggak terawat ini. Banyak tanaman-tanaman rambat di sudut-sudut dindingnya, jendela-jendela yang terbuka dan pintu yang entah berapa lama tergembok. Dulunya Java Hot, kantor meubel pada zamannya yang sekarang sudah diambil alih oleh Perusda. Ah sayang sekali. Kalau dilihat-lihat, nama kantor yang beraksen Belanda ini masih tertera jelas di atas gedung. Dibelakangnya, ada warga yang tinggal disana, mungkin sekitar tiga/empat keluarga yang tinggal disitu. Mereka menyambut saya dan yang lainnya begitu ramah. Disinilah akhirnya saya dan teman-teman mengambil pose terkeren kami haha.


Setelah cukup berfoto-foto ria, perjalanan dilanjutkan menuju pabrik rokok. Iya, pabrik roko Praoe Lajar. Konon, rokok ini dijuluki sebagai rokoknya para nelayan. Pantesan aja ya namanya Praoe Lajar hehehe. Pabrik ini sekilas dilihat cukup besar dan warna merahnya sangat mencolok beserta jendela-jendelanya yang  besar ala Belanda. Dulu, bangunan ini kantor milik Maintz & Co, perusahaan energi swasta bergerak dibidang jaringan listrik. Ternyata perjalanan saya tidak sampai situ saja, masih panjang lagi. Mbak Dian bilang, rute ini menjadi rute terfavorit sekaligus rute terpanjang dari rute lainnya. Honestly, disitu saya makin excited, bahwa saya akan banyak melewati tempat-tempat bersejarah lainnya di Kota Tua. 

Hari semakin gelap, akhirnya kami mampir dulu dimasjid tepat di sebelah lampu merah. Ya sebagai tempat istirahat sementara dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sayangnya, masjid ini banyak nyamuknya, enggak henti-hentinya saya memukul dan gerak-gerakin badan (supaya enggak di kerubungin) tapi nihil. Memang ya selain panas, Semarang pun banyak nyamuknya (kamu merasakan hal yang sama juga enggak?).



Hari sudah gelap enggak menyurutkan semangat kawan-kawan, perjalanan masih berlanjut. Kali ini sampai di Gereja Gedhangan (katolik). Wihhh saya senang bukan main, bangunannya indah sekali. Gereja Gedhangan ini ternyata gereja teertua nomor dua se-Indonesia loh. Bisa dibayangkan betapa indahnya ke-aslian bangunan ini, mulai dari corak kaca hingga bangunannya. Sayangnya, kami tidak berkenan masuk ke dalamnya dikarenakan sedang digunakan ibadah. Akhirnya, ada mbak-mbak (yang katanya pengurus sekaligus mahasiswa disitu) membawa kami ke kapel mereka bernama Susteran St.Fransiskus. Letaknya tepat di seberang jalan. Saya lagi-lagi senang banget bisa melihat isi dalemannya (eh). Abisnya dari luar enggak begitu keliatan megahnya, tapi sekalinya masuk, waahhh benar-benar indah. Saya juga berkesempatan bertemu Suster Bertha (beliau ada di koran Radar Semarang loh). Suster Bertha ramah sekaliiiiiiiiiiiiiiiiiiii, menyambut hangat saya dan teman-teman. Bangunan yang kami tuju dan lihat adalah ruang tamu, terdapat miniatur kaca yang menggambarkan letak komplek tersebut. Beliau juga menunjukkan ada beberapa bacaan Belanda yang menjadi cikal-bakal berdirinya bangunan tersebut dan diperlihatkan gedung-gedung lainnya di dalam walaupun enggak secara keseluruhan (mengingat waktu yang super duper singkat). Kata Suster Bertha, kompleks ini juga digunakan sebagai syuting film pada tahun 2016 lalu. Gedung yang paling saya tunggu-tunggu ya kapel ini, tempat para suster berdoa. Gilssssss semuanya masih terawat dengan baik walaupun ada sedikit penambahan fasilitas seperti lampu. Benar-benar indah sekali. Coba aja waktu berkunjungnya siang, pasti sinar-sinar yang masuk kedalam kapel ini makin memperkuat keindahannya. Masih enggak puas sebenarnya, tapi yasudahlah, kalau ada waktu pasti bisa kesini lagi.

Masih berlanjut lagi loh, selanjutnya melewati area Kota Lama. Sempat berhenti lagi di mini market haha, enggak kerasa sudah sekitar tiga jam jalan kaki. Ini kaki  untungnya masih kuat, walaupun si Iyan udah wanti-wanti saya bakal tidur nyenyak malem itu juga alias kaki pada njarem semua (duh) haha. 

Sebelum sampai di titik terakhir, kami berhenti di Masjid Pekojan. Dulunya area masjid ini makam. Terlihat di depan dan samping masjid terdapat beberapa makam pribumi yang salah satunya saat dibongkar (untuk perluasan masjid), jenazahnya masih utuh bahkan kain kafannya pun masih bersih, sehingga ditutup kembali (walaupun ada beberapa atau mungkin banyak yang berhasil di pindah). Untuk mengetahui jenazah pun susah karena ahli warisnya sudah tidak ada. Saya pun mendengar ceritanya kaget juga sih. Kebetulan sekali bertemu langsung narasumbernya, jadi sedikit diceritakan singkat tentang Masjid Pekojan ini. Teman saya, Iyan, sangat antusias mendengarnya haha. Oh iya, masjid ini terletak di area pecinan ya. Begitu populer sekali, sehingga enggak mungkin orang-orang enggak tahu Masjid Djami' Pekojan ini. Di dekat menara, ada makam yang sering diziarahi yaitu makam keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu makan Syarifah Fatimah binti Husain Al-Aidrus. Enggak cuman makam, ada juga dua pohon bidara yang katanya didatangkan langsung dari Gujarat. Pohon ini bisa tumbuh dan mati dengan sendirinya, buahnya kecil-kecil dan rasanya seperti apel dan daunnya bisa digunakan untuk melemaskan tubuh mayat yang kaku. Nah, saat bulan ramadhan Masjid Pekojan juga menyediakan takjil khasnya yaitu bubur India. Wah jadi penasaran sama bubur yang satu ini. 


Akhirnya sampailah di titik terakhir. Klenteng Tay Kak Sie. Waktu sudah menunjukkan setengah sembilan malam. Waawwww. Honestly, tiba disini saya sama sekali enggak ngeh dengan penuturan story teller karena saya sibuk membicarakan kota Banjarmasin langsung bersama mas Iqbal (sayangnya saya sudah lupa bahasa banjar huhuu). Namun, saya sempat memasuki bagian dalam klenteng dan menyaksikan wayang potehi sebagai penutup walking tour saya. 

Benar-benar saya banyak belajar dari sini, bahwa Indonesia banyak sekali gedung-gedung bersejarah, beragam agama yang mengajarkan kita untuk bertoleransi dan mensyukuri indahnya hidup ini.
Jadiiiiii, selamat mencoba walking tour oleh @bersukariawalk yaaaaaaaa. Dijamin enggak bakal nyesel, malahan seruuuuuuu bangettttttttttttt, enggak terlupakan deh hehehe. "Let's discover Semarang deeper than local ever did"

Kayake bakal mboseni sih tapi seiring jalan di ceritain sejarahnya, terus ada kesempatan pas di gereja dan masjid gitu, jadi makin cinta Indonesia. Mulai dari keberagaman, toleransi dan sejarah perkembangannya ada semua. Jadi, capek itu kebayar sama ilmu yang didapet. -Maulana Hazmiyan, Banyuwangi-

blog

Pahit, Apes, Manis

Juli 15, 2018


Walaupun sudah seminggu berlalu, tetap aja saya masih terus keinget. Entah saya yang lagi apes atau memang takdirnya begitu, tapi lucu aja kalau diingat-ingat. Sebelumnya, saya menulis soal keberangkatan workshop sabtu tujuh Juli yang lalu (baca disini) dan saya juga mention kalau saya enggak membeli langsung tiket pulangnya. So, that's why saya mau cerita tentang kepulangan saya minggu lalu.

Follow on Instagram