Tour Festival Kota Lama 2018

Oktober 19, 2018


Waahhhhhhhhhhhhhhhhhh sedihnya dan sadar kalau saya ini kurang update banget soal event-event di Semarang. Baru tahun ini saya tahu ada Festival Kota Lama. Ternyata sudah ada sejak tahun 2012. Ya ampun, berarti saya udah terlewat 2 tahun dong selama di Semarang huhuhu. Tertarik banget dateng karena ada penampilan-penampilan wayang dan tarian yang ternyata saya juga enggak bisa hadir karena harus bed rest. Jadi saya baru sempat datang saat hari terakhir Festival Kota Lama.

Pemandangan langit pagi itu

Ini nih penampakan mapsnya
Sebelumnya, saya mengikuti walking tour spesial festival kota lama pada jam delapan pagi. Pas banget momentnya karena saya memang sudah ingin sekali mengikuti rute ini (yang selalu tidak sempat). Saya sudah enggak sabar, apalagi katanya dapat maps spesial bagi para pengikut walking tour hari itu yang sekaligus menambah semangat saya haha. Saya bangun pagi-pagi sekali supaya enggak telat dan tepat waktu yang bertepatan titik kumpul di Taman Kota Lama Srigunting. Jadi agakk lumayan jauh dari kosan, sekitar tiga puluh menit. Untungnya pagi, jadi enggak begitu panas dan adem banget. Ditambah burung-burung bercuit-cuit ria kesana kemari menambah ke-aesthetic-an taman ini. Sayangnya kondisi kota lama yang sedang direhab, masker dan kacamata wajib tersedia di tas. Jalanan yang berpasir otomatis debu-debu halus pun bertebangan. Namun hal tersebut enggak menghalangi saya untuk ikut walking tour kali ini.

Mbak Ika, storry teller rute kala itu

Rute kota lama ini menghabiskan waktu dua jam saja (berbeda dengan rute sebelumnya yang saya ikuti, bisa baca disini). Walaupun dua jam, saya dibuat terpana akan sejarah yang enggak saya duga pun dengan yang lain. Tour kali ini pun di isi kurang lebih sepuluh orang. Ada yang berpasangan, teman karib bahkan anak dengan ibunya. Seperti biasa, tak kenal maka tak sayang kan? kami berkenalan satu sama lain, saling menyapa dan lempar senyuman. Kebetulan sekali story teller-nya mbak Ika dari Indramayu langsung berasa klop aja dan saya bisa mendengar kembali kata "mangga" hahaha.

Gereja Blenduk
Dimulai langsung di Taman Kota Lama Srigunting. Ditunjukkan gedung yang letaknya persis dibelakang taman ini, bercat putih dan terletak tangga melingkar di sebelah kanan yang pada awalnya ada dua tangga yang akhirnya tidak ada karena renovasi. Saya lupa pastinya gedung ini berfungsi apa dulunya, yang jelas gedungnya aktif digunakan pada masa Hindia-Belanda. Lalu kami semua bergeser sedikit ke samping kanan taman Srigunting, terdapat gereja Blenduk yang menjadi landmark kota Semarang. Disebut blenduk karena kubahnya berbentuk bulat. Gereja kristen tertua ini enggak sempat kami masuki karena masih tutup, sayang sekali. Setelah itu berlanjut menceritakan sejarah Kota Lama Srigunting ini yang membuat saya terkejut. Tempat seindah ini ternyata punya sisi kelam juga loh, selain itu taman ini juga sebelumnya menjadi tempat latihan para tentara Belanda. Lalu,Srigunting itu darimana sih? Ternyata Srigunting itu berasal dari nama burung. Iya, burung Srigunting. Anehnya, burung ini hanya hinggap dan hidup di wilayah ini saja enggak di tempat lain. keren kan.


Ini bagian dalam gedung Jiwasraya
Dilanjutkan menuju gedung Jiwasraya. Senang sekali saya dan teman-teman yang lain diberi kesempatan masuk untuk melihat lift pertama pada era Hindia-Belanda. Katanya, enggak sembarang orang loh bisa masuk kesini. Beruntungnya saya.


Lift pertama pada era Hindia-Belanda

Ini semacan katrol untuk menaik-turunkan lift

Pemandangan Taman Srigunting dari top floor Jiwasraya

Lorong gedung Jiwasraya, cucok buat foto. Instagrammable banget
hahaha
Nah, kalau dilihat gedung Jiwasraya ini menghadap langsung ke Taman Srigunting ya. Ada tujuannya loh, dulunya gedung ini juga dipakai untuk mengawasi para tentara berlatih dan mengawasi kegiatan lainnya pada zaman itu.

Bangunan restoran Ikan Bakar Cianjur tampak samping
Setelah puas berfoto dan melihat-lihat sekilas isi ruangannya, kami berlanjut ke sebelahnya yaitu gedung Ikan Bakar Cianjur. Ini juga termasuk gedung peninggalan Belanda loh yang sudah dicap sebagai gedung cagar budaya. Saya pernah waktu itu makan disini saat SMP, memang bangunannya minimalis sekali namun yang khas adalah tekelnya. Sayangnya lagi-lagi kami enggak bisa masuk karena masih tutup.

Salat satu bangunan yang tertera tulisan SAMARANG


Berlanjut lagi menuju gang kecil yang agak sepi namun katanya instagrammable banget. Akar-akaran. Jadi terdapat gedung rapuh yang sudah enggak terawat lagi, berdirilah pohon besar disana, akarnya pun besar-besar. Mungkin saya enggak begitu mengerti perihal fotografi, jadi buat saya ini biasa-biasa aja haha. Berjalan sedikit ke depan terdapat dua gendung yang sangat kontras sekali. Di gedung sebelah kiri terdapat tulisan SAMARANG. Konon, orang Belanda dulu susah menyebut SEMARANG, akhirnya pengucapannya pun berubah menjadi SAMARANG. Lalu untuk gedung sebelah yang sudah direnovasi itu, kabarnya akan di buat museum foto.


Terlihat logo pertama kota Semarang pada zaman Hindia-Belanda
(sebelah kiri)
 Agak sedikit jauh jalan selanjutnya menuju gang Lombok. Terdapat klenteng Tay Kak Sie dan merupakan kawasan pecinan terbesar di Jawa Tengah. Disini saya mendapat cerita sejarah sedikit nih tentang klenteng ini dan juga diberitahu perbedaan kedua patung yang berada tepat di pintu masuk serta penjelasan mengenai ketiga pintu di klenteng tersebut (pintu sebelah kanan, pintu tengah dan pintu sebelah kiri). Enggak hanya dijalan Mataran, di gang Lombok ini juga terdapat Lunpia enak loh, ketika saya lewati itu enggak hanya rame tapi benar-benar penuh. Kami lalu melanjutkan walking tour menuju masjid Pekojan yang sebelumnya saya singgahi juga di rute Multicultural. Disinilah kami beristirahat sejenak.

Salah satu toko oleh-oleh Lunpia enak di gang Lombok
Setelah beristirahat dan meneguk air minum masing-masing, kami juga di iringi menuju sebuah kampung bernama Bustaman yang masih di daerah Mataram juga yang terkenal dengan Gulai Bustaman. Nah gulai ini salah satu kuliner legendaris khas Semarang loh. Jadi sepanjang jalan kecil ini, saya mencium bau kambing, huh. Wah boleh nih kapan-kapan saya wisata kuliner kesini dan mencicipi rasa yang khas dan berbeda dari gulai lainnya. Di kampung ini juga terdapat rumah adat yang di isi sepuluh KK yang konon sudah turun-temurun loh. Rumahnya kecil dan saya enggak habis pikir gimana sempitnya yang diisi anggota keluarga sebanyak itu.

Hampir dipenghujung tour, kami berhenti sejenak di rumah makan Pringsewu letaknya persis dijalan Suari, masih di area Kota Lama. Tapi kami kesini bukan untuk makan melainkan menceritakan sedikit asal-usulnya. Rumah makan ini berkonsep heritage pada masa Oei Tiong Ham yang ternyata dulunya raja gula zaman dulu. Oei Tiong Ham ini juga konglomerat se-Asia Tenggara pada masanya dan salah satu sisa kejayaannya ya bangunan ini. Di penghujung walking tour, kami berhadapan langsung dengan Marba. Gedung ini terdiri dari dua lantai dan berdinding tebal sekitar 20 cm. Hal yang menarik saya dapat disini ialah Marba merupakan singkatan nama yang berarti Marba Badjunet, orang Yaman. Beliau juga termasuk saudara terkaya pada zamannya. Bangunan ini dulunya kantor usaha pelayaran dan juga toko modern pada masa itu.


Senangnya saya bisa menuntaskan walking tour special route ini. Enggak kalah berkesan dengan rute lainnya. Yang mau mendapatkan pengalaman lebih dan cerita mendetail, langsung aja daftarkan dirimu di rute Kota Lama ini ya. Awalnya, setelah tour ini, saya ingin menyempatkan waktu hingga malam untuk menikmati Festival Kota Lama. Namun sayangnya badan saya enggak bisa diajak kompromi dan memilih untuk beristirahat saja.


Pekan film di cafe Tekodeko
Keesokan harinya, saya meniatkan diri untuk datang di acara puncak Festival Kota Lama (walaupun saya enggak menonton bintang tamu utamanya karena terlalu malam). Tepat sekali saya datang di waktu sore. Enggak begitu ramai dan saya masih bisa menikmati dan melewati setiap standnya dengan aman (enggak berdesak-desakan). Hal pertama yang keluar di benak saya saat tiba yaitu kue Ganjel Rel. Memang tujuan saya kesini sebenarnya ingin mencicipi Ganjel Rel yang katanya kue legendaris Semarang ini. Ternyata standnya lumayan antre dan senang sekali akhirnya kesampean juga makan kue satu ini. Rasa rempah-rempahnya yang kuat dan padat, membuat saya ketagihan. Wah kala itu saya super excited. 


Kue Ganjel Rel
Harga satu kotak kecil yang sudah dipotong-potong sebesar lima ribu rupiah dan untuk ukuran besar (khusus dibawa pulang) satu kotaknya dihargai dua puluh ribu rupiah. Enggak hanya itu, sambil ditemani segelas es kopi gendhis yang membuat sore saya kali serasa lengkap. Enggak tanggung-tanggung, saya pun menikmati pekan film di café Tekodeko. Cukup bayar dua puluh ribu perorang, saya bisa menikmati film karya anak bangsa sepuasnya. Hari yang menyenangkan. Akhirnya sunset saya hari itu ditutup dengan nikmatnya kue Ganjel Rel dan es kopi susu beserta diputarnya film-film yang menarik. Jadi, tahun depan kamu harus datang ke Festival Kota Lama ya. 

You Might Also Like

0 komentar

Follow on Instagram