books

Book Series: August

September 01, 2018


Agustus, saya hanya menghabiskan dua buku saja. Padahal banyak sekali antrian yang harus dihabiskan pada bulan Agustus, sayangnya saya selalu sibuk dengan tugas kuliah atau selalu tidur lebih awal (biasanya jam-jam malam saya mulai aktif membaca).

20s. Entah kenapa secara kebetulan saya lebih menyukai membaca buku non-fiksi ketimbang fiksi. Apalagi sekarang lagi maraknya buku self-help. Mungkin saya lagi gencar-gencarnya butuh pencerahan dan genre yang baru, jadi setiap ada yang sekiranya pas dengan mood saya dengan genre yang pas, suka senyum-senyum sendiri tuh kalau di toko buku (untung sepi haha). 


Rating: ☆☆☆☆

Untuk buku yang pertama dari kak Marcella Purnama, What I Wish I Had Known. Cetakan pertama pada bulan Juni 2017. Waktu itu saya lagi bingung banget harus beli buku yang mana. Hampir dua jam saya keliling-keliling ke semua rak, tapi belum ada yang sreg di hati. Kamu juga pernah enggak keliling rak berjam-jam tapi enggak menemukan yang pas? haha. Covernya itu loh yang bikin saya jatuh cinta pada pandangan pertama haha. Saya buru-buru baca sinopsisnya dan "Nahhhh, ini nih yang daritadi di cari-cari". So, buku ini based on true story si penulis.Tentang dia pertama kali sekolah ke luar negeri, harus beinteraksi dengan lingkungan yang baru dengan bahasa inggris yang masih pas-pasan, tentang passion, pekerjaan, best friend pokoknya overall aku sukaaaaaaaa. Bahasanya mudah dimengerti dan saya juga jadi sedikit-sedikit belajar bahasa inggris juga hehehe (btw buku ini berbahasa inggris ya). Bukunya yang enggak besar, jadi bisa dibawa kemana aja dan enggak ribet. Ada ilustrasinya walaupun enggak full. Baca ini membuat saya memiliki pandangan yang baru. Walaupun saya enggak bisa selesai dalam sekali duduk tapi deep banget, sangat disayangkan hanya dibaca saja tanpa direnungi juga. Kalau disuruh milih judul mana yang paling disuka, bakal susah banget haha karena hampir semuanya saya suka. Buku ini recommended banget buat kamu. 


Rating: ☆☆☆☆

Buku kedua yang saya habiskan di bulan Agustus yaitu Am I There Yet? by Mari Andrew. Masih fresh, cetakan bulan Juli 2018. Tertarik buku ini dari instagram Bentang Pustaka, menemukan tujuan hidup dengan gaya kita sendiri. Saya pikir sih buku ini cocok juga buat saya yang lagi pengen baca self-help atau self-improvement. Buku ini lebih banyak ilustrasinya. Enggak kalah deep kok, bahkan dengan ilustrasi-ilustrasi yang diberikan, membuat saya bermain-main dengan imajinasi saya. Colorful, bikin betah dan enggak bikin mata capek. Baca buku kak Mari sih enggak butuh waktu lama untuk diselesaikan. Kadang saya juga suka random buka halaman-halamannya kalau lagi bosan, eye-cathcing banget. Dijamin kamu enggak pernah bosan, pasti ketagihan baca dan baca lagi hehe. Atau mungkin kamu angguk-anggukan kepala karena persis sama apa yang kamu alami? (ah iya, ilustrasinya full English ya). 

Nah kedua buku tersebut menjadi "The most wanted books" di rak saya haha. Apakah kamu sudah baca keduanya? Ah iya, kamu juga bisa share buku-buku self-help, self-love, atau sejenisnya yang menurutmu recommended juga hihi.

blog

Walking Tour with @bersukariawalk

Agustus 29, 2018



Siapa yang sudah ikutan walking tour? Wah seneng banget akhirnya bisa kesampean walking tour walaupun sebelumnya sempat batal. Kali ini saya benar-benar niat dan yaaaaa pas banget ada rute spesial di tanggal merah a.k.a pas Idul Adha. Enggak cuman itu, ada teman sd saya juga kebetulan sekali datang ke Semarang, ya sudah sekaligus saya ajak saja nyemarang. Namanya juga Multicultural, jadi saya dikelilingi tempat-tempat yang multi etnik dengan sejarahnya yang begitu kental. 

Pas banget kebagian Multicultural Route yang katanya rute terfavorit. Makanya saya penasaran, bagian yang mana sih yang menjadi favorit? Gedung-gedungnya? Sejarahnya? Suasananya? atau story tellernya? hihihi.
Syukurlah hari itu kondisi saya fit (harus fit dong, kan walking tour), saya buru-buru kontak teman saya (Hazmiyan) untuk prepare. Mungkin karena saya terlalu excited, jadinya saya terlalu cepat untuk menemui Iyan hahaha. Walking tour dimulai pukul setengah empat sore, meeting point berada di kantor pos pusat, dekat pasar Johar. Selama dijalan, saya mikir-mikir bakal di parkir dimana motor saya, kan serem kalo enggak ada pengamanan yang memadai. Untungnya, dibeberapa titik dekat kantor pos ada tukang parkirnya, jadi aman yaaa. Oh iya, karena ini walking tour (buat kamu yang baca dan pengen ikutan juga) jangan lupa bawa air mineral, jas hujan, payung dan makanan ringan alias jajan ya, karena walking tour berjalan sekitar dua jam, jadi butuh asupan juga selama dijalan dan jangan sampe dehidrasi. Syukurlah baik saya maupun Iyan sama-sama membawa air mineral (sempat gelisah enggak sempat bawa jas hujan atau payung). Cuaca sore itu agak terik, angin juga lumayan kencang namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat. Ah iya, story teller Multicultural ini bernama Mbak Dian. Easy going dan ceria. Walking tour dimulai dengan perkenalan, kira-kira sekitar 30-an orang yang hadir dan enggak cuman dari Semarang aja, ada yang dari Banjarmasin (uwooww acu terketjut) dan Banyuwangi (of course, teman saya Iyan) lalu sisanya kok mendadak lupa ya hehehe (maap).


 Awal rute dimulai dari Kantor Pos pusat, story teller menjelaskan kalau kantor pos ini tertua dan bangunan bersejarah di Semarang. Nah di depan kantor pos ini terdapat tugu titik nol KM Semarang (lebih jelasnya kalian ikut aja di rute ini ya hehehe). Disebelah kantor pos, terdapat gedung yang disebut gedung papak. Papak ini artinya persegi karena bangunannya banyak bentuk persegi daripada bentuk lainnya. Selanjutnya jalan menyebrang kearah Kampung Layur atau Kampung Melayu. Jalannya enggak begitu sempit, tapi rumah-rumahnya berpintu pendek. Menurut penuturan Mbak Dian as a story teller, rumah-rumah ini sering terkena rob, sehingga lambat laun tanahnya amblas (you know what I mean, right?) sehingga rumah-rumah pun tertelan tanah. Terlihat juga kali Semarang yang tadinya dilewati kapal-kapal menuju pelabuhan lama, sekarang sih sudah enggak bisa dilewati kapal. Dan sedihnya, kali ini keruh dan banyak sampah dimana-mana :( walaupun begitu, nilai sejarahnya masih melekat.




Nah, tibalah di Masjid Layur (yang dibangun pada tahun sekitar 1802). Masjid ini terkenal dengan menaranya, jadi enggak heran juga kalau disebut Masjid Menara. Sesampai disini, kegiatan kurban masih berjalan, sebagian bapak-bapak sedang bakar sate kambing hihi. Kami juga ditawari loh, katanya icip-icip lah sambil di snapgram hahaha. Masjid ini tadinya berlantai dua karena sering terkena rob, masjid ini pun ikut tenggelam. Lantai satu tidak ada yang tersisa sehingga hanya terlihat lantai dua yang masih digunakan hingga sekarang, didalamnya juga ada empat pilar, masih sangat terlihat ke-asliannya. 

Saya dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan, sesampai dipersimpangan, saya dihadapkan travo zaman dulu yang menjadi sumber listrik pada kala itu. Dan juga diperlihatkan view bangunan (disebrang jalan) antara bangunan belanda dan jawa yang berdampingan satu sama lain (salah satunya sebagai tempat foto, saya lupa namanya apa). Bangunan Belanda disitu terlihat tidak adanya ventilasi rumah. Menurut orang-orang Belanda, rumah sudah cukup dingin (kayaknya sih disamain dengan cuaca di negara asalnya) sehingga tidak perlu lagi adanya ventilasi. Namun sebaliknya, mereka belum benar-benar mengerti bahwa di Indonesia cuacanya sangatlah panas, akhirnya lambat laun setiap membangun rumah, mereka memberinya ventilasi. Disana ada juga pohon cantik menjulang tinggi memperlihatkan kesan kuno yang ditandai adanya rumah burung yang katanya sudah ada dari dulu. Setelah melihat-lihat, kami melewati jembatan Kali Semarang, waahhh indah sekali melihat senja disini. 



Setelah puas menikmati senja, saya kembali melanjutkan perjalanan ke arah bangunan Belanda yang sayangnya enggak terawat ini. Banyak tanaman-tanaman rambat di sudut-sudut dindingnya, jendela-jendela yang terbuka dan pintu yang entah berapa lama tergembok. Dulunya Java Hot, kantor meubel pada zamannya yang sekarang sudah diambil alih oleh Perusda. Ah sayang sekali. Kalau dilihat-lihat, nama kantor yang beraksen Belanda ini masih tertera jelas di atas gedung. Dibelakangnya, ada warga yang tinggal disana, mungkin sekitar tiga/empat keluarga yang tinggal disitu. Mereka menyambut saya dan yang lainnya begitu ramah. Disinilah akhirnya saya dan teman-teman mengambil pose terkeren kami haha.


Setelah cukup berfoto-foto ria, perjalanan dilanjutkan menuju pabrik rokok. Iya, pabrik roko Praoe Lajar. Konon, rokok ini dijuluki sebagai rokoknya para nelayan. Pantesan aja ya namanya Praoe Lajar hehehe. Pabrik ini sekilas dilihat cukup besar dan warna merahnya sangat mencolok beserta jendela-jendelanya yang  besar ala Belanda. Dulu, bangunan ini kantor milik Maintz & Co, perusahaan energi swasta bergerak dibidang jaringan listrik. Ternyata perjalanan saya tidak sampai situ saja, masih panjang lagi. Mbak Dian bilang, rute ini menjadi rute terfavorit sekaligus rute terpanjang dari rute lainnya. Honestly, disitu saya makin excited, bahwa saya akan banyak melewati tempat-tempat bersejarah lainnya di Kota Tua. 

Hari semakin gelap, akhirnya kami mampir dulu dimasjid tepat di sebelah lampu merah. Ya sebagai tempat istirahat sementara dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sayangnya, masjid ini banyak nyamuknya, enggak henti-hentinya saya memukul dan gerak-gerakin badan (supaya enggak di kerubungin) tapi nihil. Memang ya selain panas, Semarang pun banyak nyamuknya (kamu merasakan hal yang sama juga enggak?).



Hari sudah gelap enggak menyurutkan semangat kawan-kawan, perjalanan masih berlanjut. Kali ini sampai di Gereja Gedhangan (katolik). Wihhh saya senang bukan main, bangunannya indah sekali. Gereja Gedhangan ini ternyata gereja teertua nomor dua se-Indonesia loh. Bisa dibayangkan betapa indahnya ke-aslian bangunan ini, mulai dari corak kaca hingga bangunannya. Sayangnya, kami tidak berkenan masuk ke dalamnya dikarenakan sedang digunakan ibadah. Akhirnya, ada mbak-mbak (yang katanya pengurus sekaligus mahasiswa disitu) membawa kami ke kapel mereka bernama Susteran St.Fransiskus. Letaknya tepat di seberang jalan. Saya lagi-lagi senang banget bisa melihat isi dalemannya (eh). Abisnya dari luar enggak begitu keliatan megahnya, tapi sekalinya masuk, waahhh benar-benar indah. Saya juga berkesempatan bertemu Suster Bertha (beliau ada di koran Radar Semarang loh). Suster Bertha ramah sekaliiiiiiiiiiiiiiiiiiii, menyambut hangat saya dan teman-teman. Bangunan yang kami tuju dan lihat adalah ruang tamu, terdapat miniatur kaca yang menggambarkan letak komplek tersebut. Beliau juga menunjukkan ada beberapa bacaan Belanda yang menjadi cikal-bakal berdirinya bangunan tersebut dan diperlihatkan gedung-gedung lainnya di dalam walaupun enggak secara keseluruhan (mengingat waktu yang super duper singkat). Kata Suster Bertha, kompleks ini juga digunakan sebagai syuting film pada tahun 2016 lalu. Gedung yang paling saya tunggu-tunggu ya kapel ini, tempat para suster berdoa. Gilssssss semuanya masih terawat dengan baik walaupun ada sedikit penambahan fasilitas seperti lampu. Benar-benar indah sekali. Coba aja waktu berkunjungnya siang, pasti sinar-sinar yang masuk kedalam kapel ini makin memperkuat keindahannya. Masih enggak puas sebenarnya, tapi yasudahlah, kalau ada waktu pasti bisa kesini lagi.

Masih berlanjut lagi loh, selanjutnya melewati area Kota Lama. Sempat berhenti lagi di mini market haha, enggak kerasa sudah sekitar tiga jam jalan kaki. Ini kaki  untungnya masih kuat, walaupun si Iyan udah wanti-wanti saya bakal tidur nyenyak malem itu juga alias kaki pada njarem semua (duh) haha. 

Sebelum sampai di titik terakhir, kami berhenti di Masjid Pekojan. Dulunya area masjid ini makam. Terlihat di depan dan samping masjid terdapat beberapa makam pribumi yang salah satunya saat dibongkar (untuk perluasan masjid), jenazahnya masih utuh bahkan kain kafannya pun masih bersih, sehingga ditutup kembali (walaupun ada beberapa atau mungkin banyak yang berhasil di pindah). Untuk mengetahui jenazah pun susah karena ahli warisnya sudah tidak ada. Saya pun mendengar ceritanya kaget juga sih. Kebetulan sekali bertemu langsung narasumbernya, jadi sedikit diceritakan singkat tentang Masjid Pekojan ini. Teman saya, Iyan, sangat antusias mendengarnya haha. Oh iya, masjid ini terletak di area pecinan ya. Begitu populer sekali, sehingga enggak mungkin orang-orang enggak tahu Masjid Djami' Pekojan ini. Di dekat menara, ada makam yang sering diziarahi yaitu makam keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu makan Syarifah Fatimah binti Husain Al-Aidrus. Enggak cuman makam, ada juga dua pohon bidara yang katanya didatangkan langsung dari Gujarat. Pohon ini bisa tumbuh dan mati dengan sendirinya, buahnya kecil-kecil dan rasanya seperti apel dan daunnya bisa digunakan untuk melemaskan tubuh mayat yang kaku. Nah, saat bulan ramadhan Masjid Pekojan juga menyediakan takjil khasnya yaitu bubur India. Wah jadi penasaran sama bubur yang satu ini. 


Akhirnya sampailah di titik terakhir. Klenteng Tay Kak Sie. Waktu sudah menunjukkan setengah sembilan malam. Waawwww. Honestly, tiba disini saya sama sekali enggak ngeh dengan penuturan story teller karena saya sibuk membicarakan kota Banjarmasin langsung bersama mas Iqbal (sayangnya saya sudah lupa bahasa banjar huhuu). Namun, saya sempat memasuki bagian dalam klenteng dan menyaksikan wayang potehi sebagai penutup walking tour saya. 

Benar-benar saya banyak belajar dari sini, bahwa Indonesia banyak sekali gedung-gedung bersejarah, beragam agama yang mengajarkan kita untuk bertoleransi dan mensyukuri indahnya hidup ini.
Jadiiiiii, selamat mencoba walking tour oleh @bersukariawalk yaaaaaaaa. Dijamin enggak bakal nyesel, malahan seruuuuuuu bangettttttttttttt, enggak terlupakan deh hehehe. "Let's discover Semarang deeper than local ever did"

Kayake bakal mboseni sih tapi seiring jalan di ceritain sejarahnya, terus ada kesempatan pas di gereja dan masjid gitu, jadi makin cinta Indonesia. Mulai dari keberagaman, toleransi dan sejarah perkembangannya ada semua. Jadi, capek itu kebayar sama ilmu yang didapet. -Maulana Hazmiyan, Banyuwangi-

Follow on Instagram