Siapa yang sudah ikutan walking tour? Wah seneng banget akhirnya bisa kesampean walking tour walaupun sebelumnya sempat batal. Kali ini saya benar-benar niat dan yaaaaa pas banget ada rute spesial di tanggal merah a.k.a pas Idul Adha. Enggak cuman itu, ada teman sd saya juga kebetulan sekali datang ke Semarang, ya sudah sekaligus saya ajak saja nyemarang. Namanya juga Multicultural, jadi saya dikelilingi tempat-tempat yang multi etnik dengan sejarahnya yang begitu kental.
Pas banget kebagian Multicultural Route yang katanya rute terfavorit. Makanya saya penasaran, bagian yang mana sih yang menjadi favorit? Gedung-gedungnya? Sejarahnya? Suasananya? atau story tellernya? hihihi.
Syukurlah hari itu kondisi saya fit (harus fit dong, kan walking tour), saya buru-buru kontak teman saya (Hazmiyan) untuk prepare. Mungkin karena saya terlalu excited, jadinya saya terlalu cepat untuk menemui Iyan hahaha. Walking tour dimulai pukul setengah empat sore, meeting point berada di kantor pos pusat, dekat pasar Johar. Selama dijalan, saya mikir-mikir bakal di parkir dimana motor saya, kan serem kalo enggak ada pengamanan yang memadai. Untungnya, dibeberapa titik dekat kantor pos ada tukang parkirnya, jadi aman yaaa. Oh iya, karena ini walking tour (buat kamu yang baca dan pengen ikutan juga) jangan lupa bawa air mineral, jas hujan, payung dan makanan ringan alias jajan ya, karena walking tour berjalan sekitar dua jam, jadi butuh asupan juga selama dijalan dan jangan sampe dehidrasi. Syukurlah baik saya maupun Iyan sama-sama membawa air mineral (sempat gelisah enggak sempat bawa jas hujan atau payung). Cuaca sore itu agak terik, angin juga lumayan kencang namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat. Ah iya, story teller Multicultural ini bernama Mbak Dian. Easy going dan ceria. Walking tour dimulai dengan perkenalan, kira-kira sekitar 30-an orang yang hadir dan enggak cuman dari Semarang aja, ada yang dari Banjarmasin (uwooww acu terketjut) dan Banyuwangi (of course, teman saya Iyan) lalu sisanya kok mendadak lupa ya hehehe (maap).
Nah, tibalah di Masjid Layur (yang dibangun pada tahun sekitar 1802). Masjid ini terkenal dengan menaranya, jadi enggak heran juga kalau disebut Masjid Menara. Sesampai disini, kegiatan kurban masih berjalan, sebagian bapak-bapak sedang bakar sate kambing hihi. Kami juga ditawari loh, katanya icip-icip lah sambil di snapgram hahaha. Masjid ini tadinya berlantai dua karena sering terkena rob, masjid ini pun ikut tenggelam. Lantai satu tidak ada yang tersisa sehingga hanya terlihat lantai dua yang masih digunakan hingga sekarang, didalamnya juga ada empat pilar, masih sangat terlihat ke-asliannya.
Saya dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan, sesampai dipersimpangan, saya dihadapkan travo zaman dulu yang menjadi sumber listrik pada kala itu. Dan juga diperlihatkan view bangunan (disebrang jalan) antara bangunan belanda dan jawa yang berdampingan satu sama lain (salah satunya sebagai tempat foto, saya lupa namanya apa). Bangunan Belanda disitu terlihat tidak adanya ventilasi rumah. Menurut orang-orang Belanda, rumah sudah cukup dingin (kayaknya sih disamain dengan cuaca di negara asalnya) sehingga tidak perlu lagi adanya ventilasi. Namun sebaliknya, mereka belum benar-benar mengerti bahwa di Indonesia cuacanya sangatlah panas, akhirnya lambat laun setiap membangun rumah, mereka memberinya ventilasi. Disana ada juga pohon cantik menjulang tinggi memperlihatkan kesan kuno yang ditandai adanya rumah burung yang katanya sudah ada dari dulu. Setelah melihat-lihat, kami melewati jembatan Kali Semarang, waahhh indah sekali melihat senja disini.
Setelah puas menikmati senja, saya kembali melanjutkan perjalanan ke arah bangunan Belanda yang sayangnya enggak terawat ini. Banyak tanaman-tanaman rambat di sudut-sudut dindingnya, jendela-jendela yang terbuka dan pintu yang entah berapa lama tergembok. Dulunya Java Hot, kantor meubel pada zamannya yang sekarang sudah diambil alih oleh Perusda. Ah sayang sekali. Kalau dilihat-lihat, nama kantor yang beraksen Belanda ini masih tertera jelas di atas gedung. Dibelakangnya, ada warga yang tinggal disana, mungkin sekitar tiga/empat keluarga yang tinggal disitu. Mereka menyambut saya dan yang lainnya begitu ramah. Disinilah akhirnya saya dan teman-teman mengambil pose terkeren kami haha.
Setelah cukup berfoto-foto ria, perjalanan dilanjutkan menuju pabrik rokok. Iya, pabrik roko Praoe Lajar. Konon, rokok ini dijuluki sebagai rokoknya para nelayan. Pantesan aja ya namanya Praoe Lajar hehehe. Pabrik ini sekilas dilihat cukup besar dan warna merahnya sangat mencolok beserta jendela-jendelanya yang besar ala Belanda. Dulu, bangunan ini kantor milik Maintz & Co, perusahaan energi swasta bergerak dibidang jaringan listrik. Ternyata perjalanan saya tidak sampai situ saja, masih panjang lagi. Mbak Dian bilang, rute ini menjadi rute terfavorit sekaligus rute terpanjang dari rute lainnya. Honestly, disitu saya makin excited, bahwa saya akan banyak melewati tempat-tempat bersejarah lainnya di Kota Tua.
Hari semakin gelap, akhirnya kami mampir dulu dimasjid tepat di sebelah lampu merah. Ya sebagai tempat istirahat sementara dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sayangnya, masjid ini banyak nyamuknya, enggak henti-hentinya saya memukul dan gerak-gerakin badan (supaya enggak di kerubungin) tapi nihil. Memang ya selain panas, Semarang pun banyak nyamuknya (kamu merasakan hal yang sama juga enggak?).
Hari sudah gelap enggak menyurutkan semangat kawan-kawan, perjalanan masih berlanjut. Kali ini sampai di Gereja Gedhangan (katolik). Wihhh saya senang bukan main, bangunannya indah sekali. Gereja Gedhangan ini ternyata gereja teertua nomor dua se-Indonesia loh. Bisa dibayangkan betapa indahnya ke-aslian bangunan ini, mulai dari corak kaca hingga bangunannya. Sayangnya, kami tidak berkenan masuk ke dalamnya dikarenakan sedang digunakan ibadah. Akhirnya, ada mbak-mbak (yang katanya pengurus sekaligus mahasiswa disitu) membawa kami ke kapel mereka bernama Susteran St.Fransiskus. Letaknya tepat di seberang jalan. Saya lagi-lagi senang banget bisa melihat isi dalemannya (eh). Abisnya dari luar enggak begitu keliatan megahnya, tapi sekalinya masuk, waahhh benar-benar indah. Saya juga berkesempatan bertemu Suster Bertha (beliau ada di koran Radar Semarang loh). Suster Bertha ramah sekaliiiiiiiiiiiiiiiiiiii, menyambut hangat saya dan teman-teman. Bangunan yang kami tuju dan lihat adalah ruang tamu, terdapat miniatur kaca yang menggambarkan letak komplek tersebut. Beliau juga menunjukkan ada beberapa bacaan Belanda yang menjadi cikal-bakal berdirinya bangunan tersebut dan diperlihatkan gedung-gedung lainnya di dalam walaupun enggak secara keseluruhan (mengingat waktu yang super duper singkat). Kata Suster Bertha, kompleks ini juga digunakan sebagai syuting film pada tahun 2016 lalu. Gedung yang paling saya tunggu-tunggu ya kapel ini, tempat para suster berdoa. Gilssssss semuanya masih terawat dengan baik walaupun ada sedikit penambahan fasilitas seperti lampu. Benar-benar indah sekali. Coba aja waktu berkunjungnya siang, pasti sinar-sinar yang masuk kedalam kapel ini makin memperkuat keindahannya. Masih enggak puas sebenarnya, tapi yasudahlah, kalau ada waktu pasti bisa kesini lagi.
Masih berlanjut lagi loh, selanjutnya melewati area Kota Lama. Sempat berhenti lagi di mini market haha, enggak kerasa sudah sekitar tiga jam jalan kaki. Ini kaki untungnya masih kuat, walaupun si Iyan udah wanti-wanti saya bakal tidur nyenyak malem itu juga alias kaki pada njarem semua (duh) haha.
Sebelum sampai di titik terakhir, kami berhenti di Masjid Pekojan. Dulunya area masjid ini makam. Terlihat di depan dan samping masjid terdapat beberapa makam pribumi yang salah satunya saat dibongkar (untuk perluasan masjid), jenazahnya masih utuh bahkan kain kafannya pun masih bersih, sehingga ditutup kembali (walaupun ada beberapa atau mungkin banyak yang berhasil di pindah). Untuk mengetahui jenazah pun susah karena ahli warisnya sudah tidak ada. Saya pun mendengar ceritanya kaget juga sih. Kebetulan sekali bertemu langsung narasumbernya, jadi sedikit diceritakan singkat tentang Masjid Pekojan ini. Teman saya, Iyan, sangat antusias mendengarnya haha. Oh iya, masjid ini terletak di area pecinan ya. Begitu populer sekali, sehingga enggak mungkin orang-orang enggak tahu Masjid Djami' Pekojan ini. Di dekat menara, ada makam yang sering diziarahi yaitu makam keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu makan Syarifah Fatimah binti Husain Al-Aidrus. Enggak cuman makam, ada juga dua pohon bidara yang katanya didatangkan langsung dari Gujarat. Pohon ini bisa tumbuh dan mati dengan sendirinya, buahnya kecil-kecil dan rasanya seperti apel dan daunnya bisa digunakan untuk melemaskan tubuh mayat yang kaku. Nah, saat bulan ramadhan Masjid Pekojan juga menyediakan takjil khasnya yaitu bubur India. Wah jadi penasaran sama bubur yang satu ini.
Akhirnya sampailah di titik terakhir. Klenteng Tay Kak Sie. Waktu sudah menunjukkan setengah sembilan malam. Waawwww. Honestly, tiba disini saya sama sekali enggak ngeh dengan penuturan story teller karena saya sibuk membicarakan kota Banjarmasin langsung bersama mas Iqbal (sayangnya saya sudah lupa bahasa banjar huhuu). Namun, saya sempat memasuki bagian dalam klenteng dan menyaksikan wayang potehi sebagai penutup walking tour saya.
Benar-benar saya banyak belajar dari sini, bahwa Indonesia banyak sekali gedung-gedung bersejarah, beragam agama yang mengajarkan kita untuk bertoleransi dan mensyukuri indahnya hidup ini.
Jadiiiiii, selamat mencoba walking tour oleh @bersukariawalk yaaaaaaaa. Dijamin enggak bakal nyesel, malahan seruuuuuuu bangettttttttttttt, enggak terlupakan deh hehehe. "Let's discover Semarang deeper than local ever did"
Kayake bakal mboseni sih tapi seiring jalan di ceritain sejarahnya, terus ada kesempatan pas di gereja dan masjid gitu, jadi makin cinta Indonesia. Mulai dari keberagaman, toleransi dan sejarah perkembangannya ada semua. Jadi, capek itu kebayar sama ilmu yang didapet. -Maulana Hazmiyan, Banyuwangi-